Jadilah Desainer Beretika
Dokter, polisi, dan beragam profesi memiliki etika profesi khususnya. Lalu, apakah pekerja kreatif, seperti desainer grafis, juga memilikinya?
Sayangnya, di ladang kreatif profesional dewasa ini belum ada aturan dan etika yang seragam dan bisa diaplikasikan ke seluruh penjuru dunia. Semua ide dan inovasi milik pekerja kreatif yang bertujuan untuk kepentingan komersial sementara ini masih abstrak dan sangat rawan menimbulkan kerugian.
Etika dan peraturan sebenarnya sangat diperlukan di tiap peluang bisnis yang tercipta, apalagi dunia desain juga diisi oleh orang dewasa dengan segala emosi dan motif yang melatarbelakangi. Sama saja dengan profesi profesional lainnya, kan? Tak jarang pula banyak desainer grafis yang mengeluhkan ketidakprofesionalan yang ditunjukkan oleh kliennya, padahal mereka sudah melunasi kewajibannya dengan baik.
Tetapi, Anda tidak perlu histeris terlebih dahulu. Speider Schneider, desainer yang pernah menelurkan karya-karyanya di Disney/Pixar, DC and Marvel Comics, Nickelodeon, dan perusahaan besar lainnya, bersedia membagikan pandangannya soal carut-marutnya persoalan etika bagi desainer:
1. Etika Tidak Diajarkan pada Pendidikan Formal
Menurut Schneider, tidak semua pendidikan desain formal menyiapkan anak didiknya untuk menjadi desainer profesional.
Sangat sedikit sekali pendidikan formal yang menyuntikkan etika profesi bagi desainer yang ingin merintis di bidang industri profesional. Subyek etika profesi pun belum menjadi fokus utama dan seringkali para mahasiswa atau peserta didik hanya bisa mendengarkan pengalaman dosen atau tentornya saat menggeluti dunia industri profesional.
Kalau sudah begitu, berarti satu-satunya cara bagi pekerja kreatif untuk memperlajari etika profesi yang paling efektif hanyalah lewat pengalaman - yang mana tak selalu manis dan menyenangkan.
2. Etika Bukanlah Aturan untuk Mengerjakan Bisnis
Etika pada dasarnya adalah patokan umum dalam sebuah hubungan bisnis dengan beberapa pihak dan bagaimana kita mengatasi hal-hal yang tidak diharapkan kemunculannya.
Ketika klien Anda memilih untuk tidak memberikan hak Anda karena hasil karya Anda tidak jadi dipakainya, apakah ada etika yang dilanggar di sini?
Pada dasarnya, hal tersebut tidak benar-benar melanggar etika, namun klien Anda tampak tak menghargai tiap tetesan darah dan keringat yang Anda korbankan demi rampungnya proyek tersebut.
Beda ceritanya jika Anda terikat dalam kontrak penuh, maka ketika Anda tidak menerima hak yang semestinya dari klien, hal tersebut tergolong pada hal yang ilegal dan melanggar etika, meskipun pada akhirnya hasil kerja Anda dihiraukan begitu saja oleh si klien.
Jadi, memang benar apabila etika bukanlah tameng terkuat Anda ketika terjun ke dunia bisnis dan industri profesional, karena bisnis tetap bisa berjalan meskipun tiada etika. Adalah kesadaran untuk menjalankan kewajiban dan menerima hak dari kedua belah pihak lah yang akan menentukan selanjutnya.
3. Etika itu Terlalu Fleksibel
Kalau Anda mau menelusuri, sebenarnya tidak ada etika yang sama yang diterapkan di banyak tempat. Apalagi bagi desainer grafis, yang notabene adalah pekerja kreatif, etika yang berlaku sudah pasti jauh berbeda dari industri lainnya.
Mengapa bisa begitu?
Steve Jobs, mantan CEO Apple Inc., bahkan pernah mendefinisikan pekerja kreatif sebagai "the Crazy Ones" karena dari mereka lah inovasi lahir. Meskipun Steve Jobs merasa kesulitan untuk mengontrol para profesional di bidang ini - karena tidak patuhnya mereka pada garis-garis kaku yang diciptakan oleh masyarakat, beliau sangat bangga dan lebih senang bekerjasama dengan mereka.
"... the ones who are crazy enough to think that they can change the world, are the ones who do," ujar mantan CEO yang pernah hengkang dari Apple Inc. lalu kembali lagi itu.
Di sisi lain, saat klien mengesampingkan hak milik desainer grafis, seperti menangguhkan pembayaran atau menghentikan proyek di tengah jalan, mereka memang melanggar etika dan menunukkan profesionalitas kerja. Namun, Anda harus menyadari akan adanya potensi seperti ini dan menyiapkan jalan keluarnya, misalnya dengan menandatangani kontrak kerja. Kira-kira, seperti itu lah akibat terlalu fleksibelnya etika yang berlaku di dunia desain.
Schneider juga berpesan bahwa ketika Anda menemui orang yang tidak bersikap profesional, maka jalan terbaik yang bisa Anda lakukan adalah menjauhinya. Begitu juga ketika Anda merasa mulai dijauhi oleh mitra kerja, berarti ada yang salah dari diri Anda di mata mereka.
Lalu, Sudahkah Anda Menjadi Desainer Beretika?
Setelah mengetahui cacatnya etika yang berlaku di dunia desain, bagaimana Anda bisa menilai diri Anda sendiri sebagai profesional yang beretika?
Etika dan moral yang berlaku pada masyarakat sebenarnya didasari pada bagaimana tiap individu memandang individu lainnya. Berikut ada kuis sederhana untuk membuktikan sudahkah Anda mempraktekkan etika di industri kreatif:
1. Pernahkah Anda mengatakan sesuatu yang tidak benar tentang pekerja kreatif lain atau klien dengan tujuan untuk merusak reputasinya (terlepas dari kemungkinan mereka pantas menerimanya)?
2. Pernahkah Anda berbohong untuk mengkambinghitamkan orang lain ketika proyek yang Anda tangani bermasalah?
3. Pernahkah Anda berkata pada klien bahwa proyek yang Anda tangani sudah sampai di proses akhir padahal Anda sama sekali belum memulainya?
4. Pernahkah Anda menangani proyek dimana Anda tidak mengerahkan kemampuan terbaik yang Anda punya untuk menyelesaikannya?
5. Pernahkah Anda mencuri (atau yang sering Anda sebut dengan 'terinspirasi') oleh hasil kerja pekerja kreatif lainnya?
6. Pernahkah Anda memalsukan resume atau portofolio Anda sendiri?
7. Pernahkah Anda berkata "saya tidak tahu" padahal sebenarnya Anda mengetahuinya?
Apabila Anda menjawab 'ya' pada setiap pertanyaan di atas, berarti Anda belum menunaikan etika sebagai pekerja kreatif dengan benar.
Sebagai pekerja kreatif, ada baiknya Anda bersikap profesional dan memperlakukan mitra kerja Anda seprofesional mungkin. Dengan begitu, Anda sudah memulai langkah besar untuk menjadi desainer beretika.
Image credit: museumspoliticsandpower.org
0 comments:
Post a Comment